Beranda | Artikel
Hukum Mabit di Mina bagi Jamaah Haji dan Syariat Khutbah Mina
Sabtu, 8 Juli 2023

Apa hukum mabit di Mina dan adakah syariat khutbah di Mina?

 

 

 

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

 

كِتَابُ اَلْحَجِّ

Kitab Haji

بَابُ صِفَةِ اَلْحَجِّ وَدُخُولِ مَكَّةَ

Bab Sifat Haji dan Masuk Makkah

 

 

Hadits #769

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا: { أَنَّ اَلْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ اَلْمُطَّلِبِ ( اِسْتَأْذَنَ رَسُولَ اَللَّهِ ( أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِيَ مِنًى, مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ, فَأَذِنَ لَهُ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib memohon izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menginap di Makkah pada malam-malam yang seharusnya berada di Mina karena tugasnya memberi air minum (dengan air zam zam) kepada jamaah haji. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkannya. (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1643, 1734-1745 dan Muslim, no. 1315]

 

Hadits #770

وَعَنْ عَاصِمِ بْنِ عَدِيٍّ ( { أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ ( أَرْخَصَ لِرُعَاة اَلْإِبِلِ فِي اَلْبَيْتُوتَةِ عَنْ مِنًى, يَرْمُونَ يَوْمَ اَلنَّحْرِ, ثُمَّ يَرْمُونَ اَلْغَدِ لِيَوْمَيْنِ, ثُمَّ يَرْمُونَ يَوْمَ اَلنَّفْرِ } رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ

Dari ‘Ashim bin ‘Adiy, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan pada para pengembala unta untuk bermalam di luar kota Mina, mereka melempar jumrah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), lalu mereka melempar jumrah lagi pada 12 Dzulhijjah untuk dua hari (11 dan 12), kemudian mereka melempar jumrah lagi pada hari Nafr (hari jamaah haji keluar dari Mina, 12 atau 13 Dzulhijjah). (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban) [HR. Abu Daud, no. 1975; Tirmidzi, no. 955; An-Nasai, 5:273; Ibnu Majah, no. 3037; Ahmad, 39:193; Ibnu Hibban, no. 3888. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Hadits ini memiliki beberapa riwayat dengan lafaz yang hampir sama. Lihat Minhah Al-‘Allam, 5:341]

 

Faedah hadits

  1. Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum mabit di Mina pada malam ke-11 dan ke-12. Padahal para ulama sepakati bahwa mabit tersebut bagian dari nusuk (ibadah haji). Ada ulama yang menyatakan bahwa mabit di Mina tersebut termasuk dalam wajib haji. Ada ulama yang berpendapat bahwa mabit tersebut termasuk dalam sunnah haji. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menilai bahwa mabit di Mina andai saja dikatakan wajib, jika meninggalkannya tidaklah terkena dam. Karena syariat tidaklah mengenakan dam untuk hal ini. Imam Ahmad berkata pada mereka yang tidak mabit di Mina, “Tidak terkena apa-apa, walau berdosa.” Sedangkan menurut jumhur ulama (Malikiyyah, Syafiiyah, Hambali dalam pendapat al-ashoh) menyatakan bahwa hukum mabit di Mina termasuk wajib haji, bila ditinggalkan terkena dam.
  2. Kadar wajib untuk mabit di Mina adalah mayoritas malam, lebih dari separuh malam (misalmnya malam ada sembilan jam, berarti lebih dari 4,5 jam). Ada juga pendapat kedua yang menyatakan bahwa mabit di Mina itu satu waktu di malam hari.
  3. Mabit di Mina itu selama dua malam untuk yang nafar awal (keluar pada 12 Dzulhijjah sebelum matahari tenggelam). Namun, untuk yang nafar tsani (keluar pada 13 Dzulhijjah), maka ia wajib mabit pula pada malam ketiga belas serta melempar jumrah pada hari ke-13 Dzulhijjah (hari tasyrik ketiga).
  4. Menurut Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan, siapa yang tidak mendapatkan tempat yang layak di Mina, maka gugur baginya kewajiban mabit. Karena sesuai kaidah fikih LAA WAAJIBA MA’AL ‘AJZI, tidak kewajiban ketika tidak mampu.
  5. Bagi orang yang mengurus kepentingan umum seperti mengurus air dalam kisah ‘Abbas, para dokter, begitu juga memiliki uzur khusus seperti sakit atau menemani orang yang sakit, atau penduduk Makkah yang khawatir pada keluarganya, maka mereka juga termasuk orang yang mendapatkan uzur untuk mabit di Mina. 
  6. Yang mengurus kepentingan umum, mereka tetap melempar jumrah seperti jamaah haji lainnya. 
  7. Adapun pengembala unta, mereka ikut melempar jumrah ‘Aqabah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) bersama jamaah haji. Kemudian mereka mengurus unta mereka. Pada hari nafr awal (12 Dzulhijjah), mereka melempar jumrah untuk dua hari yaitu untuk 11 dan 12. Kemudian mereka melempar lagi jumrah pada hari ke-13 jika mereka tidak terburu-buru keluar dari Mina. 
  8. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan mengatakan bahwa mengakhirkan melempar jumrah itu lebih utama daripada mewakilkan melempar jumrah walaupun dikerjakan di waktunya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada para pengembala untuk mengakhirkan. Seandainya mewakilkan itu disyariatkan tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyarankannya karena itu hal yang lebih mudah. Namun dalam pandangan ulama Syafiiyah, mewakilkan dalam pelemparan jumrah itu masih boleh. 
  9. Melempar jumrah pada seluruh hari tasyrik dikatakan melakukannya pada waktunya (ada-an). Siapa saja yang melempar jumrah diundur ke hari berikutnya, maka itu sah dan tidak terkena apa-apa. Ia hanyalah meninggalkan kesunnahan. 
  10. Waktu melempar jumrah berakhir dengan tenggelamnya matahari pada hari tasyrik. Siapa yang melempar jumrah setelah waktu tersebut, maka ia berarti mengqadha’, bukan adaa-an (mengerjakan di waktunya). 
  11. Hukum melempar jumrah pada malam hari masih dibolehkan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan awalnya ketika telah masuk zawal (Zhuhur), tetapi beliau tidak menentukan akhir waktunya. Melempar jumrah pada siang hari itu ‘azimah, sedangkan pada malam hari adalah suatu keringanan (rukhshah). Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam, 5:344-345.
  12. Jika jamaah haji meninggalkan pelemparan jumrah satu atau dua hari dari hari tasyrik dengan sengaja, lupa, atau tidak tahu, maka ia bisa melakukannya pada hari terakhir menurut pendapat al-azhar. Ia mulai melempar untuk hari pertama, hari kedua, lalu hari ketiga. Begitu pula jika belum melempar jumrah ‘Aqabah untuk hari Nahr (10 Dzulhijjah), jamaah haji bisa melakukannya pada hari yang tersisa (dari hari tasyrik), ia memulai melempar jumrah pada hari Nahr dahulu, dan ini dianggap sebagai penunaian ada-an (pada waktunya), bukan qadha-an (mengganti di luar waktu).
  13. Mabit di Mina pada hari tasyrik yang tiga setelah hari Nahr (10 Dzulhijjah) disebut AYYAM MA’DUUDAAT. Sedangkan AYYAM MA’LUMAAT yang dimaksud adalah sepuluh hari awal Dzulhijjah. Perhatikan dua ayat berikut.

وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْدُودَٰتٍ

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203). Inilah yang dimaksud dengan hari tasyrik dan waktunya mabit di Mina.

وَيَذْكُرُوا۟ ٱسْمَ ٱللَّهِ فِىٓ أَيَّامٍ مَّعْلُومَٰتٍ

“dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka.” (QS. Al-Hajj: 28). Inilah yang dimaksud dengan sepuluh hari awal Dzulhijjah.

 

Khutbah di Mina

Hadits #771

وَعَنْ أَبِي بِكْرَةَ ( قَالَ: { خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ ( يَوْمَ اَلنَّحْرِ… } اَلْحَدِيثَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi khutbah kepada kami pada hari Nahr (10 Dzulhijjah).” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1741 dan Muslim, no. 1679]

 

Hadits #772

وَعَنْ سَرَّاءَ بِنْتِ نَبْهَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: { خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ ( يَوْمَ اَلرُّءُوسِ فَقَالَ: ” أَلَيْسَ هَذَا أَوْسَطَ أَيَّامِ اَلتَّشْرِيقِ ? ” } اَلْحَدِيثَ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ 

Dari Sarra’ binti Nabhaan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi khutbah kepada kami pada hari ru’us (hari kedua dari hari Nahr), beliau bersabda, “Bukankah ini pertengahan dari hari-hari tasyrik?” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan) [HR. Abu Daud, no. 1953. Imam Nawawi menyatakan bahwa hadits ini hasan].

 

Faedah hadits

  1. Hadits ini menjadi dalil disyariatkannya khutbah di Mina di mana imam berkhutbah atau yang bisa memberikan peringatan pada hari Nahr. Khutbah juga diadakan pada hari kedua dari hari tasyrik, disebut hari ru-uus di mana orang-orang ketika itu memakan kepala qurban dan hadyu ketika disembelih pada hari Nahr.
  2. Khutbah tersebut hendaklah berisi nasihat umum agar bisa berpegang dengan syariat Allah dan mengajak pada syariat-Nya, hendaklah memperhatikan perihal akidah, memperingatkan bid’ah, dan hal-hal yang bermanfaat untuk jamaah haji. 
  3. Syaikh Prof. Muhammad Az-Zuhaily mengatakan bahwa khutbah pada hari Nahr di Mina bukanlah khutbah Id. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan shalat Id ketika hajinya dan juga tidak ada khutbah Id.
  4. Dalam madzhab Syafii, ada empat khutbah yang disunnahkan ketika haji: (a) khutbah pada hari ketujuh Dzulhijjah di sisi Kabah setelah shalat Zhuhur, (b) khutbah di lembah ‘Uranah pada hari Arafah, (c) khutbah pada hari Nahr (Iduladha), (d) khutbah pada nafar awal, yaitu hari kedua dari tasyrik, 12 Dzulhijjah. Sebagaimana hal ini pernah diterangkan sebelumnya pada penjelasan hadits Jabir tentang haji.

 

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 5:340-348.
  • Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 2:691-696.

 

 

Diselesaikan di Pondok Pesantren Darush Sholihin, 19 Dzulhijjah 1444 H, 8 Juli 2023

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/37136-hukum-mabit-di-mina-bagi-jamaah-haji-dan-syariat-khutbah-mina.html